Sabtu, 10 Januari 2009

CORETANKU UNTUK IPNU SULSEL


KHAIRUL ANAM HS, S.Pd.I
(ketua Umum PW. IPNU SULSEL XI)


Sebuah prestasi gemilang yang diraih pada kongres IPNU 2003 di Surabaya yang kemudian dipertegas di Kongres IPNU 2006 di Jakarta adalah keberhasilan mengembalikan IPNU sebagai organisasi pelajar. Peralihan itu menunjukkan arti penting bagi proses kejelasan “kelamin” IPNU di masa mendatang.
Dalam menghadapi dinamika kehidupan akhir-akhir ini, tampak peran IPNU terutama di Sulawesi Selatan tidak cukup didengar. Ia tampil sebagai organisasi yang berkiprah di kandangnya sendiri, dan belum banyak memberikan peran publik. Hal ini banyak diakui oleh beberapa pihak, termasuk generasi muda NU di Sulawesi Selatan sendiri. Pertanyaannya kemudian, apakah ''kemandulan'' IPNU SulSel disebabkan tidak efektifnya segmen pelajar yang digarap? Atau justru diakibatkan faktor SDM yang tidak mampu mengaktualisasikan lembaga? Yang pasti bukan karena itu semua. Ketidakberdayaan IPNU SulSel diakibatkan oleh ketidakkonsistenan kadernya memegang khittah IPNU. Seharusnya pascakongres dilakukan rencana strategis yang khusus memformulasikan visi kepelajaran yang dimilikinya. Selama tiga tahun berjalan, visi kepelajaran yang dimiliki IPNU SulSel mengambang, atau bahkan berjalan tanpa arah yang jelas. Ini sangat tampak ketika kader di anak cabang dan cabang-cabang yang ada belum begitu paham tentang perubahan kepanjangan akronim ''P'' dari ''putra'' ke ''pelajar''.
Melihat kondisi demikian, setidaknya ada dua PR yang perlu diselesaikan oleh IPNU SulSel. Pertama, menegaskan posisi organisasi kepelajaran yang telah diikrarkannya. Kedua, menggarap dunia kepelajaran secara serius agar peran IPNU semakin jelas.
Kedua PR itu seyogianya bisa selesai sebelum Kongres XVI yang akan digelar Juli 2009.

GERAKAN INTELEKTUAL
Posisi organisasi pelajar di Indonesia sangat efektif dalam menyokong SDM bangsa. Ia berdiri dan berkiprah menguatkan basis pendidikan dan segmen keilmuan. Pendidikan dan keilmuan itu akan menghadirkan karakter bangsa, semacam kemandirian, kesahajaan dan kesatuan persepsi. Jadi arah yang paling ideal bagi IPNU SulSel ke depan adalah mengembangkan format gerakan intelektual. Kita bisa mencontoh Turki dan Mesir yang sadar akan kemundurannya. Ia masuk dalam periode kebangkitan Islam setelah ekspedisi Napolion di Mesir berakhir pada tahun 1801 M. Peristiwa itu membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat. Di sisi lain kemajuan dan kekuatan Barat tidak lagi dipungkiri. Fenomena demikian menjadikan pemerintah dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mulai cari jalan untuk mengembalikan balance of power yang membahayakan Islam. Dengan demikian, timbullah apa yang disebut pemikiran aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam (Muslim Ishak: 1988).
Gerakan intelektual yang dimaksud adalah bagaimana IPNU SulSel mampu memberikan sumbangsih kepada kadernya untuk cinta ilmu sepanjang hayat dan melek terhadap modernisasi. Format gerakan yang nyata adalah doktrinasi arti penting ilmu modern untuk bekal di masa mendatang.Selama ini, NU dipandang sebagai organisasi klasik yang hanya mampu mencetak kiai. Doktor dan profesor yang lahir dari NU juga masih minim. Dengan kiprah kepelajarannya, jiwa cinta ilmu bisa ditanamkan sejak dini kepada kadernya, baik dalam pengkaderan formal maupun nonformal.Ke depan, IPNU tidak lagi bersusah payah mengadakan acara seremonial yang hanya berupa seminar atau semiloka, tetapi dengan SDM pendidikan yang kuat, IPNU mampu menawarkan gagasan brillian untuk disumbangkan pada bangsa.

MEMBANGUN PELAJAR
Secara formal, IPNU sudah mempunyai departemen advokasi pelajar. Tetapi lembaga ini tidak berdaya sedikit pun, sehigga terkesan tidak efektif dan bahkan ada ide untuk menghapusnya. Penulis menilai lembaga tersebut masih sangat penting.
Persoalannya kemudian, bagaimana memberikan bekal dan otoritas penuh bagi kader yang mengelolanya. IPNU SulSel selayaknya mengambil peran strategis mendampingi kasus-kasus pelajar yang muncul di permukaan.
Contoh, Ketika pelajar Aceh tidak begitu diperhatikan, PW. IPNU DIY Aceh tampil mendampingi mereka memperoleh hak pendidikan sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945. IPNU menegaskan sikapnya kepada Pemerintah agar membuat pendidikan darurat pascatsunami.
Yang sedang marak sekarang adalah ancaman moralitas pelajar dari bahaya budaya Barat, seperti kehidupan bebas, glamorisme, dunia malam, dan konsumerisme. IPNU SulSel seharusnya bermain untuk memfilter budaya itu dengan melakukan kajian-kajian akademis. IPNU SulSel tidak melarang budaya lain masuk, tetapi melakukan seleksi dengan melibatkan semua pelajar dan pemuda. Dengan demikian, budaya Indonesia akan tetap tumbuh subur.
Dengan peran demikian, IPNU SulSel mampu menjalankan amanatnya dalam membangun pelajar dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa. Manusia memang butuh pengalaman hidup. Begitu pula IPNU SulSel butuh pengalaman untuk menyelesaikan tugas utamanya dalam membangun pelajar Indonesia.


PENGALAMAN ORGANISASI
· Pengurus Cabang Ikatan Pelajar NU Makassar (2002-2004)
· Pengurus Wilayah Ikatan Pelajar NU Sulawesi Selatan (2006-Sekarang)
· Ketua Rayon Fak. Tarbiyah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) (2004-2005)
· Ketua II Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat UIN Alauddin (2006-2007)
· Sekertaris Umum Ikatan Alumni Pesantren AnNahdlah (IAPAN) (2006-Sekarang)
· Ketua Umum BEM Fak. Tarbiyah & Keguruan UIN Alauddin (2006-2007)
· Ketua Bidang Penalaran PP IMAKIPSI (Ikatan Mahasiswa Kependidikan Indonesia) Pusat (2007– sekarang)
·












3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. aku kagum sama ipnu sulsel, gmn caranya biar tetap eksis di organisasi, by PAC IPNU BANYUPUTIH SITUBONDO

    BalasHapus
  3. BAGUS SEKALI REKAN... SAYA KAGUM MELIHAT INI...

    BalasHapus